Tugas Kelompok - Mengelola Risiko Suku Bunga (Managing Interest – Rate Risk)



Mengelola Risiko Suku Bunga (Managing Interest – Rate Risk) 

Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah di Indonesia dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, salah satunya adalah perbankan syariah atau bank syariah. Aplikasi rate of profit sebagai pengganti rate of interest (suku bunga) di perbankan syariah sering menjadi masalah karena tidak adanya tolok-ukur (benchmark) dalam penetapan profit margin pada akad jual-beli murabahah dan biaya sewa pada akad ijarah pada transaksi di perbankan syariah atau bank syariah di negara-negara Islam lainnya (El Gamal, 2006). 

Beberapa negara muslim menerapkan margin/mark up murabahah dan ujrah pada transaksi ijarah yang ditetapkan di depan (ex ante) secara fixed dalam jangka waktu panjang. Di Pakistan, murabahah dengan margin tetap dapat digunakan baik dalam jangka waktu pendek, menengah maupun panjang. Akad murabahah dapat digunakan untuk pembiayaan: pembelian bahan mentah, persediaan, peralatan, pembelian asset, pembiayaan impor, pembiayaaan expor (pre-shipment), pembiayaan barang konsumsi, pembiayaan pembelian rumah, pembelian kendaraan bermotor, pembelian tanah, pembelian toko, pembelian computer, pembelian paket wisata, pembelian paket pendidikan, pembelian paket kesehatan dan sekuritisasi asset murabahah (Usmani, 2002). 

Di antara critical issue yang menjadi penekanan dalam perdebatan konsep rate of profit sebagai pengganti rate of interest ini adalah bahwa apakah bank syariah yang menjalankan fungsi bisnisnya yang berbasis jual beli telah memasukkan unsur Iwad atau imbal nilai (counter value) atau ziyadah (pertambahan tanpa adanya aktivitas di sektor riil) dalam penentuan rate of profit-nya. Sesuai teori rate of profit Islami, keuntungan yang diambil harus mengandung 3 unsur yaitu: 1) nilai tambah atau value addition karena adanya unsur kerja; 2) pengambilan risiko atau risk taking karena adanya risiko perubahan harga pada barang yang diperdagangkan; dan 3) penanggungan kewajiban jika terjadi kecacatan pada barang yang diperjualbelikan atau liability (Rosly, 2007). 

Bank-bank syariah di pusat keuangan dunia, masih menggunakan LIBOR (London Inter-Bank Offered Rates) atau rata-rata suku bunga kredit dari bank-bank terbesar di London. Penggunaan LIBOR sebagai benchmark dipraktekkan dalam penentuan profit margin (rate of profit) murabahah atau sewa ijarah untuk produk-produk pembiayaan home financing dan commercial financing lainnya seperti pembiayaan mobil, motor dan barang-barang consumer lainnya. Sedangkan di Indonesia, perbankan syariah masih menggunakan JIBOR (Jakarta Inter-Bank Offered Rates) atau suku bunga rata-rata bankbank terbesar di Indonesia dalam penentuan suku bunga pembiayaan syariah seperti KPR, Kredit Multi Guna dan kredit lainnya. Mahmoud A. El-Gamal mendukung penggunaan conventional benchmark yaitu LIBOR sebagai benchmark mark up pada transaksi jual beli. 

Penggunaan “Islamic Benchmark” tidak perlu dan tidak praktis serta berbahaya karena meskipun ia mengakui bahwa implicit rate (rate yang dikenakan sebenarnya) dalam keuangan syariah berbedabeda tergantung dari kualitas underlying asset, tetapi benchmark Islam dalam pasar keuangan syariah ini tidak cukup mendalam dan tidak memiliki likiduitas yang baik untuk membentuk implicit rate yang uniform (seragam) sebagai patokan melakukan transaksi. Perbedaan pendapat tentang penggunaan LIBOR yang menggunakan suku bunga, apakah bisa dijadikan sebagai benchmark dalam pasar keuangan syariah secara umum disebabkan karena penggunaan LIBOR sebagai benchmark dalam mark up akad jual beli hanya sebagai point of reference (titik acuan) terhadap cost of capital (biaya modal) dalam pasar keuangan syariah yang saat ini hidup berdampingan (co-exist) dengan pasar keuangan konvensional yang menggunakan prinsip time value of money dan bukan prinsip economic value of time yang mengacu kepada sektor riil. Permasalahan rate of profit pada perbankan syariah dapat terjadi pada penentuan margin dan bagi hasil serta dalam metoda pembebanan margin (flat/efektif) dalam transaksi perbankan baik transaksi yang bersifat jual beli atau kerjasama seperti mudharabah dan musharakah. Rate of profit sebagai pengganti rate of interest juga sangat penting artinya dalam ilmu keuangan, karena perannya yang sangat sentral dalam menilai aset keuangan. 

Dalam ilmu keuangan konvensional, harga aset keuangan lebih besar ditentukan oleh naik turunnya suku bunga. Jika suku bunga naik, maka harga dari aset keuangan yang berbunga tetap (fixed coupon rate) akan otomatis jatuh, karena nilai present value atau harga sekarang dari aset tersebut dinilai berdasarkan nilai diskonto dari arus uang yang akan datang, dengan menggunakan tingkat suku bunga sebagai alat ukurnya. Kebijakan yang diambil perbankan syariah dalam menentukan rate of profit atau margin pada transaksi berbasis jual-beli seperti murabahah pada dasarnya mengikuti tingkat suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional. Salah satu tugas yang terpenting dari bank termasuk bank syariah adalah melakukan transformasi jatuh tempo dari aset dan liability-nya. Hampir semua bank memiliki aset berupa pembiayaan (kredit) dan investasi dalam surat berharga, yang dibiayai oleh liabilities-nya berupa giro, tabungan, deposito dan penerbitan surat berharga yang harganya ditentukan kembali (repricing) dengan jangka waktu yang lebih pendek dibandingkan aset-nya. Terjadinya apa yang disebut gap (perbedaan jangka waktu repricing) dalam aset dan liability bank ini akan berimplikasi kepada tereksposnya rate of profit (net income yang dapat berupa profit atau bunga) di bank pada perubahan variable pasar yang mempengaruhi aset-liability. 

Pada dasarnya, semua aset keuangan memiliki arus kas berupa arus kas masuk dan arus kas keluar. Arus kas masuk dapat berupa angsuran dalam kontrak pembiayaan di bank syariah, kupon yang dibayarkan oleh penerbit surat berharga syariah dan pendapatan dari investasi di sektor riil. Arus kas masuk dan arus kas keluar bisa berupa arus kas yang bersifat tetap dan telah ditentukan di depan (fixed and predetermined-ex ante) dan bisa berupa arus kas yang bersifat tidak tetap dan ditentukan di belakang (variable andex post). Di dalam sistem keuangan Islam, arus kas yang bersifat fixed dan predetermined bisa dilihat pada transaksi yang berdasarkan akad jual beli seperti: murabahah, istishna dan salam serta transaksi yang berdasarkan akad sewa seperti: ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik. Dari karakteristik transaksi yang menghasilkan arus kas yang bersifat fixed dan predetermined, maka nilai suatu aset keuangan dapat diukur. 

Stabilitas nilai aset keuangan dengan demikian dapat diukur dari nilai perubahan aset tersebut terhadap benchmark (tolok ukur) yang digunakan dalam menetukan harga transaksi tersebut yang diantaranya bisa berupa suku bunga seperti yang dipraktekan yaitu dengan menggunakan LIBOR (London Inrtebank Offered Rate). Secara teori, pengukuran nilai suatu aset keuangan bisa ditentukan dengan teori Duration (Hempel, et.al, 1994). Risiko instabilitas keuangan dapat diukur dari volatilitas harga aset keuangan. dan dapat diukur dari volatilitas harga aset keuangan. Dengan kata lain perubahan nilai aset keuangan bisa dilihat pada perubahan tolok ukur yang digunakan dalam menilai suatu aset. Sebagai contoh jika digunakan suku bunga sebagai tolok ukur maka berdasarkan rumus ini setiap perubahan suku bunga sebesar 1 % maka akan menyebabkan perubahan nilai aset atau kekayaan sebesar: -1 (0.01/1.1) untuk aset yang berjangka waktu 1 tahun atau sebesar 0.91 %. Jika jangka waktu yang digunakan lebih panjang misalnya 5 tahun maka risiko perubahan harga asetnya menjadi lebih besar yaitu: -5(.01/1.1) = -4.55%. 

Jadi pengelolaan aset keuangan dengan benchmark suku bunga sangat rentan terhadap penurunan kekayaan masyarakat dalam bentuk turunnya nilai aset keuangan. Dari teori ini bisa disimpulkan bahwa akad murabahahpada transaksi pembiayaan jangka panjang, misalnya untuk pembiayaan pemilikan rumah (PPR) yang biasanya berjangka waktu 15-20 tahun memiliki volatilitas yang sangat besar yaitu antara: 13.65 % untuk PPR yang berjangka waktu 15 tahun dan 18.2 % untuk PPR berjangka waktu 20 tahun, jika mark-up atau margin yang ditetapkan bersifat tetap dan predetermined selama jangka waktu tersebut. Di sini peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan suku bunga dalam transaksi syariah menyebabkan terjadinya instabilitas pada nilai aset keuangan yang dapat merugikan investor dan menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan, yaitu baik di lembaga keuangan maupun pada pasar obligasi yang di sistem keuangan syariah disebut sukuk. Imbal hasil (yield) adalah keuntungan yang didapatkan seorang investor setelah melakukan investasi dalam jangka waktu tertentu. Berbeda dengan bank konvensional dimana imbal hasil dalam transaksi keuangan dengan deposan maupun kreditur berbasis bunga yang nilainya tetap, dalam bank syariah imbal sesuai dengan jenis akad transaksinya. 

Equivalent rate merupakan indikasi tingkat imbalan dari suatu pananaman dana atau penghimpunan dana yang dilakukan bank. Equivalent rate juga berarti tingkat pengembalian atas investasi yang telah ditanamkan. Tingkat imbal hasil dalam Bank Syariah bisa diperhitungkan nilai kesetaraan dengan equivalent rate dengan menghitung tingkat imbal hasiltersebut pada periode waktu yang sama dengan penghitungan equivalent rate. Untuk akad NCC, imbal hasil yang diberikan bisa diperkirakan sesuai dengan nilai margin dari transaksi-transaksi berbasis jual beli yang dilakukan. Dalam akad-akad natural uncertainty contract (NUC) penentuan imbal hasil tidak dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi bisnis dimana diawal perjanjian belum dapat dipastikan hasilnya (Rivai 2020). Para pihak yang berakad di awal perjanjian hanya menyepakati nisbah atau besaran persentase bagi hasil yang akan didapat para pihak. 

Hal ini berarti masyarakat yang menabung maupun yang menjadi debitur pembiayaan di bank syariah ikut terekspos perkembangan bisnis bank dengan sistem bagi hasil. Sementara bank terekspos risiko imbal hasil, yaitu risiko yang muncul akibat perubahan bagi hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana sehingga secara langsung mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank. Di bank syariah saat ini teknik pengelolaan aset and liability atau yang dikenal dengan Aset Liability Management (ALMA) risiko pengelolaan ALMA pada dasarnya sama dengan di bank konvensional, karena di bank syariah terjadi “aset liability mismatch” yang sama. Oleh karena itu Hosein Askari membuat model asetliability bank syariah yang ideal di mana tidak terdapat produk bank syariah yang didasarkan kepada akad jual-beli dan sewa seperti murabahah, istishna, salam dan ijarah. 

Dalam model ideal yang dikembangkan Hosein Askari, digambarkan bahwa baik dari sisi aset maupun liabilitynya kedua-duanya hanya ada produk mudharabah atau musharakah saja. ALMA menjadi sistem yang dapat menyeimbangkan pengelolaan neraca keuangan perbankan berupa pengelolaan sumber dana masyarakat berbentuk DPK dan pengelolaan investasi ke dalam bentuk aset untuk mengoptimumkan struktur neraca bank guna memaksimalkan laba dan pengelolaan risiko-risiko yang mungkin terjadi terhadap sumber dana tersebut. ALMA memiliki tugas untuk memaksimumkan laba, meminimumkan risiko, dan menjamin ketersediaan likuiditas. Selain itu, dalam menjalankan strategi penentuan harga, baik dalam pendanaan maupun pembiayaan menjadi fungsi dan kebijakan dari manajemen aset dan liabilitas. Pengelolaan ALMA di bank syariah harus meliputi perencanaan strategis, implementasi dan proses kontrol terhadap volume, bauran (mixture), maturity, profit-rate sensitivity, kualitas dan likuiditas aset dan liability bank. 

Bank syariah mendirikan Asset and Liability Committee (ALCO) sebagai dewan khusus yang menggerakan dan bertanggung jawab terhadap sistem ALMA. ALCO berfungsi untuk melakukan identifikasi terkait risiko pasar dan manajemen permodalan, keuntungan dari sisi pembiayaan, dan strategi dalam menetapkan ekspektasi DPK. ALCO juga bertugas untuk menganalisis isu dalam neraca perdagangan yang memengaruhi kerja bank syariah serta melakukan review terhadap kontingensi bank syariah. 

Referensi: 

Fatmawati, Naning. “Peranan Manajemen Risiko dengan Pendekatan ALMA (Asset And Liabilities Management) pada Perbankan Syariah”. Wadiah, Vol. 2, NO. 2, (2018) 

Rifai, Achmad Boys Awaluddin. “Analisis Risiko Imbal Hasil Pada Bank Syariah”. AlInfaq: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 11 No. 2, (2020) 

Supriyanto, Trisiladi. “Konsep Rate Of Profit Dan Stabilitas Ekonomi Perbankan Syariah”. Etikonomi, Volume. 11 No 2, (2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Kelompok - Analisa Laporan Keuangan Bank Muamalat Laporan Keuangan Maret 2022

SOAL UAS - PERBANKAN SYARIAH

Tugas Kelompok - Transaksi Forward